Riya’ termasuk penyakit hati, sekaligus penghapus pahala amal kebaikan. Secara harfiyah, riya’ –berasal dari kata raa-a yuraa-u ru’yah yang artinya melihat, memperlihatkan, menampakkan, menunjukkan, terlihat, atau “pamer”, sebagaimana firman Allah SWT: “… dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya’ kepada manusia.” (QS. Al-Anfal:47).
Secara istilah, riya’ bisa dimaknai sebagai “pamer amal kebaikan”, yakni sengaja menampakkan atau menunjukkan amal solehnya kepada orang lain agar mendapatkan pujian, penghargaan, atau membuat orang lain itu kagum kepadanya.
Para ulama mendefiniskan riya sebagai “sikap menginginkan kedudukan dan posisi di hati manusia dengan memperlihatkan berbagai kebaikan kepada mereka”.
Riya’, dengan demikian, adalah melakukan amal kebaikan atau ibadah dengan niat bukan ikhkas karena Allah, karena ingin pujian, decak kagum, atau ingin dilihat oleh orang lain.
Termasuk ke dalam perbuatan riya’ adalah sum’ah, yakni agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan lalu kita pun dipuji bahkan “terkenal” sebagai orang baik.
Seseorang berbuat riya’ atau tidak, hanya dirinya dan Allah SWT yang tahu. Namun, secara lahiriah, ciri riya’ a.l. jika amal baik atau ibadahnya dilakukan di depan orang lain atau disaksikan manusia, ia tampak giat, antusias, atau bersemangat, tapi jika sendirian, maka ia bermalas-malasan, tidak bergairah, bahkan tidak melakukannya sama sekali.
Jadi, ciri utama riya’ adalah ingin mendapat pujian, baik sebelum melakukan kebaikan (riya’ dalam hal niat/motif) maupun setelah melakukannya (tujuan akhir amalnya dipuji orang).
Riya’ menjadikan amal kebaikan menjadi sia-sia, sebagaimana firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia” (QS. Al-Baqarah: 264).
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya’” (QS. Al-Ma’un:4-6).
Rasulullah Saw menyebutkan riya’ sebagai “syirik kecil” (syirkul ashghar), yakni menyekutukan Allah SWT dalam skala kecil, karena mestinya niat ibadah hanya karena mengharap ridha-Nya, bukan ridha selain-Nya.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kamu semua adalah syirik kecil (riya`)” (HR Ahmad). Riya’ membuat amal sia-sia sebagaimana syirik. (HR. Ar-Rabii’). Sesungguhnya riya’ adalah syirik kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim).
Riya juga disebut “syirik tersembunyi” karena keberadaannya yang bisa tidak disadari oleh yang berlaku riya. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy, ia berkata,”Rasulullah Saw pernah menemui kami dan kami sedang berbincang tentang Al-Masih Dajjal.
Maka beliau Saw bersabda,”Maukah kalian aku beritahu tentang apa yang aku takutkan terhadap kalian daripada Al-Masih Dajjal?’ Kami menjawab, ’Tentu, wahai Rasiulullah.’ Beliau Saw berkata, ’Syirik yang tersembunyi, yaitu orang yang melakukan shalat kemudian membaguskan shalatnya tatkala dilihat oleh orang lain” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dari Abu Hurairoh, telah berkata seorang penduduk Syam yang bernama Natil kepadanya, ”Wahai Syeikh, ceritakan kepada kami suatu hadits yang engkau dengar dari Rasulullah Saw.’
Abu Hurairoh menjawab, ’Baiklah. Aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda,’Sesungguhnya orang yang pertama kali didatangkan pada Hari Kiamat adalah seorang laki-laki yang mati syahid dan dia diberitahukan berbagai kenikmatannya sehingga ia pun mengetahuinya.
Kemudian orang itu ditanya,’Apa yang telah engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah berperang dijalan-Mu sehingga aku mati syahid.’ Dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong, sesungguhnya engkau berperang agar engkau dikatakan seorang pemberani dan (gelar) itu pun sudah engkau dapatkan (di dunia).” Lalu Allah memerintahkan agar wajah orang itu diseret dan dilemparkan ke neraka.
Kemudian didatangkan lagi seorang pembaca Al-Qur’an dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan, maka ia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya,”Apa yang engkau lakukan di dunia?’ Orang itu menjawab,’Aku telah mempelajari ilmu dan mengajarinya dan aku membaca Al-Qur’an karena Engkau.’
Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau mempelajari ilmu agar engkau dikatakan seorang yang alim dan engkau membaca Al Qur’an agar engkau dikatakan seorang pembaca Al Qur’an dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian Allah memrintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka.
Kemudian didatangkan lagi seorang yang Allah berikan kepadanya kelapangan (harta) dan dia menginfakkan seluruh hartanya itu dan dia diberitahukan berbagai kenikmatan maka dia pun mengetahuinya. Dikatakan kepadanya, ”Apa yang engkau lakukan di dunia?’
Orang itu menjawab, ’Aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau sukai untuk berinfak didalamnya kecuali aku telah menginfakkan didalamnya karena Engkau.’ Maka dikatakan kepadanya,’Engkau berbohong sesungguhnya engkau melakukan hal itu agar engkau disebut sebagai seorang dermawan dan engkau telah mendapatkan (gelar) itu. Kemudian orang itu diperintahkan agar wajahnya diseret dan dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim).
Tips Menghilangkan Riya
Imam Ghazali memberikan kiat dalam Ihya ‘Ulumuddin agar kita terhindari dari riya’ sebagai berikut:
1. Menghilangkan sebab-sebab riya’, seperti kenikmatan terhadap pujian orang lain, menghindari pahitnya ejekan dan antusias dengan apa-apa yang ada pada manusia, sebagaimana hadits Rasulullah Saw dari Abu Musa, ia berkata, ”Pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw dan mengatakan, ’Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang orang yang berperang dengan gagah berani, orang yang berperang karena fanatisme, dan orang yang berperang karena riya’, maka mana yang termasuk di jalan Allah? Maka beliau Saw bersabda, ’Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, maka dialah yang berada di jalan Allah.” (HR. Bukhori)
2. Membiasakan diri untuk menyembunyikan berbagai ibadah yang dilakukannya hingga hatinya merasa nyaman dengan pengamatan Allah Swt terhadap berbagai ibadahnya itu.
3. Berusaha melawan berbagai bisikan setan untuk berbuat riya’ saat mengerjakan suatu ibadah.
Riya’ merupakan sifat orang-orang munafiq. “Dan bila mereka (orang-orang munafik) berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’: 142). Na’udzubillah. Wallahu a’lam bish-shawab. (Abu Faiz, dari berbagai sumber).*
Komentar